sk83r_z63

Tuesday, January 8, 2008

Perihal Bioskop di Indonesia

Disusun Oleh:

Muhammad Zulfi Ifani


Pendahuluan : Bioskop dan pentingnya Distribusi

Permasalahan perfilman di Indonesia (bahkan di dunia) adalah permasalahan yang kompleks. Karena perfilman tidak sekedar mencakup permasalahan produksi semata, semisal pemilihan artis, tempat syuting, tema, budget produksi, dsb. Melainkan, menyangkut keseluruhan rantai kegiatan dari awal produksi hingga distribusi yang menyajikan film ke hadapan penonton.

Di sinilah permasalahan distribusi sama pentingnya dengan produksi itu sendiri. Karena distribusi berkaitan erat dengan langsung dengan penonton. Tanpa penonton suatu produk perfilman akan sia-sia dan merugi. Maka dari itu, bagaimana penonton mendapatkan produk film tersebut apakah lewat bioskop, produk VCD/DVD, ataupun lewat televise (terrestrial maupun paid) adalah wacana yang hangat untuk terus diperbincangkan.

Dalam makalah ini, permasalahan yang akan dibahas secara mendalam hanyalah permasalah bioskop, khususnya di Indonesia. Karena banyak yang meyakini bioskop sampai kapanpun akan menjadi ujung tombak distribusi sebuah film. Berbeda dengan VCD/DVD ataupun televisi yang harus menunggu waktu tertentu untuk diijinka beredar, bioskop relatif menawarkan sesuatu yang bisa terus diupdate (diperbaharui).

Selain itu, kenapa bioskop saya pilih untuk menjadi tema makalah ini adalah karena di antara aspek-aspek lain dari perfilman bioskop kurang mendapat perhatian signifikan. Tidak diketahui kenapa pastinya, namun ada kemungkinan dikarenakan dibanding aspek-aspek perfilman lain bioskop kurang glamour apalagi menimbulkan sensasi meledak layaknya artis yang ikut di bagian produksi.

Hal yang juga menarik untuk dibahas adalah bagaimana bioskop mengalami fluktuasi (pasang-surut) dalam beberapa dekade terakhir. Situasi ini diyakini bukan tanpa sebab yang pasti, tetapi karena beberapa faktor yang sangat terkait seperti: tarik menarik kepentingan antara pengusung perfilman nasional dengan para pengusaha bioskop, regulasi yang belum tertata rapi hingga bagaimana kondisi perpolitikan kala itu berpengaruh.

Mengambil opini dari JB Kristanto (2004:387), dia menyatakan bahwa bioskop adalah tempat gemuk untuk mendapatkan keuntungan dalam industri perfilman. Dari sana juga diambil asumsi bahwa konon pengusaha bioskop adalah raja bagi para produsen film nasional. Itulah kenapa keberadaan bioskop sangat mempengaruhi distribusi perfilman khususnya dan umumnya dunia perfilman nasional. Maju mundurnya dunia perfilman nasional bergantung erat dari bioskop. Maka dari itu, akan sangat naif rasanya jika kita terus memandang rendah arti hadir bioskop.

Bioskop: Overview Singkat

Istilah Bioskop yang kita kenal saat ini sebenarnya merupakan adaptasi dari bahasa Belanda: bioscoop, istilah ini pun ternyata diadaptasi dari bahasa Yunani yang berarti gambar hidup. Bioskop dimaknai sebagai tempat untuk menonton pertunjukan film dengan menggunakan layar lebar. Gambar film diproyeksikan ke layar menggunakan proyektor. (Wikipedia)

Sedang menurut Asrul Sani (dalam Jauhari, 1992:i), bioskop adalah gedung di mana alat proyeksi ditempatkan dan di mana orang banyak dapat dapat menonton gambar bergerak di atas sebidang layar putih.

Di Indonesia, bioskop mengalami pasang surut yang cukup tinggi frekuensinya. Kemunculannya pada awal abad ke-20 dianggap sebagai “mainan” para bangsawan dan priyayi karena ekslusifitasnya. Berturut-turut bioskop mulai dibawa ke ranah masyarakat yang lebih luas (termasuk masyarakat kelas bawah), terutama digunakan untuk propaganda penjajahan. Begitu pula dengan masa pasca kemerdekaan, bioskop kembali digunakan sebagai basis perjuangan (seperti untuk mencari dana perjuangan). Yang kemudian cukup menggembirakan adalah pada masa orde baru, saat di mana bioskop begitu difasilitasi kemajuannya baik dalam kuantitas produk perfilman maupun dari bentuk dan sarana tempat pertunjukan. Kemajuan itu kemudian mengalami kemandekan – bahkan sempat mati suri – saat awal-awal reformasi dan krisis ekonomi menerpa Indonesia pada akhir dekade 90-an. Lebih lanjut, detail sejarah industri bioskop di Indonesia akan dibahas di bagian berikutnya.

Bioskop dari masa ke masa

Perbicangan pasang-surut (fluktuasi) perbioskopan mengarahkan kita pada perjalanan sejarah bioskop itu sendiri. Bioskop yang telah hadir lebih dari 100 tahun di Indonesia mengalami sendiri apa yang disebut masa kejayaan (pasang) dan masa kemunduran (surut). Untuk mempermudah penjelasan sejarah dari bioskop, maka dari itu di sini saya menggunakan pemetaan yang dibuat oleh Haris Jauhari (1992) dalam bukunya Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia. Di situ dengan cerdas pembabakan sejarah bioskop dipetakan (dikategorisasi), antara lain sebagai berikut:

Pertama, periode 1900 hingga 1942 (fase layar membentang). Periode ini dimulai dari tahun 1903, saat itu bioskop lebih dikenal dengan istilah “gambar idoep” yang menayangkan berbagai film bisu (hal ini dikarenakan minimnya teknologi yang tersedia saat itu). Harga tiket pun hanya dapat dijangkau oleh kalangan menengah ke atas.

Dari sisi industri, industri bioskop saat itu dapat dikatakan sangat fluktuatif karena dua alasan besar yaitu: teknologi yang masih minim dan berbagai gonjang-ganjing politik yang terjadi. Bioskop saat itu dianggap sebagai bisnis yang mahal dan ekslusif dan masih kurang populer ketimbang pertunjukan tradisional lain. Baru pada pertengahan dekade 1910-an bioskop lebih leluasa dalam bergerak setelah mendapatkan ijin formal dari pemerintahan Hindia-Belanda.

Perkembangan pesat bioskop -pasca mendapat ijin formal- membawa bioskop terdikotomi ke dalam dua kelas: kelas atas yang berisikan kaum Eropa dan golongan pamongpraja lokal yang borjuis dan kelas bawah yang berisikan rakyat jelata yang tentu sangat bohemian dan kumuh. Perkembangan tersebut juga tidak dapat dipisahkan dari perkembangan pesat teknologi perbioskopan dengan ditemukannya teknologi suara yang menjadikan bioskop hiburan yang sangat menarik.

Perkembangan tersebut ternyata tidak selamanya mulus. Karena pada tahun 1942 animo masyarakat terhadap bioskop merosot deras. Selain karena merosotnya produksi film nasional, faktor perang dunia ke-2 dan keamanan juga menjadi permasalahan pelik. Tidak mengherankan jika kemudian banyak bioskop yang bertumbangan, bahkan kemudian beralih fungsi menjadi sekedar gudang atau malah terbengkalai begitu saja.

Kedua, periode 1942 hingga 1949 (fase berjuang di garis belakang). Fase ini dimulai bersamaan dengan masuknya penjajah Jepang bumi nusantara. Yang cukup menjadi perhatian pada fase ini adalah keseimbangan komposisi film yang diputar di bioskop antara film barat dan non-barat (melayu, Indonesia dan Cina).

Namun, keadaan kondusif ini ternyata tidak bertahan lama karena makin lama kedok Jepang pun terbuka juga: menggunakan bioskop sebagai sarana propaganda pro-Jepang. Adanya tayangan-tayangan propaganda berbentuk slide, film cerita yang berbentuk dukungan untuk Jepang, diskon besar-besaran bagi warga pribumi untuk menonton di bioskop hingga alokasi waktu bioskop untuk anak-anak sekolah menjadi bagian tidak terpisahkan dari usaha keras Jepang untuk menegakkan propagandanya yang terkenal: Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Keadaan ini diperparah lagi dengan masih lesunya dunia produksi film lokal, hal yang tentu membuat senyum Jepang semakin mengembang.

Kondisi yang memprihatinkan seperti ini terus terjadi hingga Belanda kembali ke Indonesia pasca kekalahan Jepang pada perang dunia ke-2. Bahkan, sampai dengan masa pasca kemerdekaan pun hal yang sama masih terus terjadi: industri bioskop lesu. Baru pada tahun 1946-1948 bioskop kembali mulai bernafas, keadaan ini lebih disebabkan faktor pemerintah Indonesia yang mulai menggunakan bioskop untuk sarana mencari dana perjuangan. Hal tersebut yang melatar belakangi pelabelan fase bioskop kala itu sebagai fase berjuang dari garis belakang.

Ketiga, periode 1950 hingga 1962 (fase pulih kembali). Fase ini dapat dikatakan dimulai pada tahun 1951, saat dimana diresmikannya bioskop termegah saat itu: Metropole. Konon bioskop ini menjadi simbol kebangkitan dunia perbioskopan saat itu. Karena dalam jangka waktu dua tahun kemudian (1953) tidak kurang dibangun sekitar 513 bioskop di seluruh Indonesia. Secara umum pembangunan tersebut didasarkan pada alasan primer: bisnis. Hal yang juga menandakan bahwa iklim industri bioskop cukup kondusif.

Dari tahun 1952 hingga 1960 bisa dikatakan merupakan masa keemasan bisnis bioskop di Indonesia dengan berdirinya sekitar 890 bioskop dengan jumlah penonton yang fantastis: 450 juta orang. Tak lama kemudian, terjadi surut sejenak pada tahun 1962 saat jumlah bioskop menurun ke angka 800. Menurunnya jumlah bioskop tersebut disebabkan oleh paling tidak dua permasalahan pokok, yaitu: mahalnya biaya administrasi bioskop dan juga menyusutnya produksi film nasional yang sangat drastis: dari 459 judul pada tahun 1952 menjadi 18 judul pada tahun 1959.

Keempat, periode 1962 hingga 1965 (fase hari-hari yang riuh). Pelabelan hari-hari yang riuh bukan tanpa alasan, karena saat itu aksi pengganyangan film yang diisukan sebagai agen imperialisme Amerika marak terjadi. Pengganyangan tersebut tidak sekedar wacana karena telah merembet pula kepada aksi-aksi anarkis semisal pencopotan reklame, pemboikotan gedung bioskop hingga pembakaran gedung bioskop.

Aksi ini merupakan buntut ketidakpuasan masyarakat atas pengaruh deras globalisasi Amerika yang sedang marak. Hal tersebut berakibat fatal bagi para pengusaha bioskop, karena bioskop yang sebelumnya berjumlah 700 buah pada tahun 1964 menyusut menjadi setengahnya (350 buah) pada tahun berikutnya. Di sisi lain, gejolak politik ini dapat juga dipahami karena pada saat itu pemerintahan Indonesia sedang dekat-dekatnya dengan haluan kiri (Pemerintahan Uni Soviet yang merupakan musuh utama pemerintahan imperialis Amerika).

Kelima, periode tahun 1965 hingga 1970 (masa-masa sulit). Lagi-lagi pelabelan ini bukan tanpa maksud, karena realita membuktikan masa-masa itu merupakan masa yang amat genting dalam dunia perpolitikan Indonesia. Pemberontakan G30S PKI pada periode ini menambah parah aksi-aksi anti-imperialis Amerika, dimana rantai distribusi film impor menjadi rusak sedang di satu sisi produksi film nasional masih terlelap. Keadaan ini menjadikan pengusaha bioskop serba salah dan berakibat fatal pada tumbangnya bioskop-bioskop karena kehabisan penonton (yang lumpuh ekonominya akibat krisis moneter).

Keadaan ini tidak dibiarkan begitu saja oleh pemerintah karena pada tahun 1967 pemerintahan yang sudah mulai pulih pasca gerakan pemberontakan mengadakan terobosan dengan mengimpor ratusan judul film untuk mengimbangi kondisi perfilman nasional yang masih saja “tiarap”. Keadaan ini memang sangat positif bagi industri bioskop, namun berakibat pula pada minimnya animo penonton untuk menonton film nasional. Baru kemudian pada tahun 1970 terjadi peningkatan secara signifikan pada produksi film nasional dan secara otomatis terjadi pengurangan (penyesuaian tepatnya) pada kuantitas film impor.

Keenam, periode tahun 1970 hingga 1991 yang disebut dalam masa “gejolak teknologi canggih”. Pada masa ini, industri bioskop benar-benar diuji ketahanannya terutama dengan arus deras gelombang teknologi baru. Mungkin tidak cukup gelombang teknologi canggih yang menguji, namun unsur persaingan ala kapitalis (perang modal) pun ikut andil dalam memperkeruh permasalahan intern pengusaha bioskop.

Permasalahan pertama yang terjadi adalah pembajakan yang merajalela. Pembajakan ini disinyalir terjadi berkat maraknya masyarakat yang memiliki video tape secara personal di rumah. Menikmati film di rumah pun menjadi tren tersendiri karena lebih santai dan tentunya irit, walaupun harus dengan membajak film. Tindakan seperti ini memang membuat para masyarakat menengah riang gembira, karena dengan budjet minim mereka dapat menikmati hiburan layaknya di bioskop, sebaliknya malah membuat para pengusaha bioskop “menangis” meratapi pemasukan yang makin menipis.

Di saat pembajakan belum mereda, pada dekade 1980-an para pengusaha bioskop kembali dihadapkan pada permasalah berikutnya: munculnya siaran televisi asing lewat parabola. Ancaman lainnya kemudian adalah hadirnya televisi swasta nasional: RCTI dan TPI. Kedua jenis televisi ini membawa satu permasalahan yang homogeny buat bioskop yaitu tayangan film gratis.

Keadaan tersebut ternyata tidak menyurutkan niat para pengusaha kelas kakap untuk berinvestasi dan berinovasi di industri ini. Di sinilah kejelian seorang Sudwikatmono dengan Subentra Group miliknya mengubah Plaza Theatre menjadi batu pertama dinasti sinepleks 21-nya. Dalam bisnis ini Pak Dwi (sapaan akrabnya) berhasil mengkopi keberhasilan industri bioskop di Amerika yang berhasil memenuhi berbagai kebutuhan penonton seperti: suasana yang eksotik, ruangan yang indah dan nyaman, keamanan yang terjamin dan kebebasan dalam memilih film yang mereka inginkan.

Kehadiran kelompok 21 milik Pak Dwi bukannya tanpa kritik keras. Karena banyak kalangan yang menganggap usaha kelompok 21 adalah bentuk monopoli usaha bioskop “kakap” yang menelan bioskop-bioskop “teri” untuk kalangan bawah.

Wabah sinepleks dari kelompok 21 secara kuantitatif mendorong perkembangan industri bioskop ke puncak keemasannya dengan lebih dari 2600 bioskop pada awal 1990-an. Walau, pada akhirnya jumlah tersebut terus menyusut dengan puncaknya pada tahun 1998 saat terjadi krisis politik dan krisis ekonomi akut yang juga dibarengi dengan krisis produksi film lokal.

Baru, pada awal dekade 2000-an industri bioskop sedikit bergeliat kembali (walaupun hanya perlahan-lahan mengingat kondisi ekonomi yang masih cukup berat). Hingga data terakhir pada medio 2004 lalu dinyatakan jumlah bioskop di seluruh Indonesia berjumlah sebanyak 272 bioskop dengan 720 layar.

Berikut adalah gambaran tabel sejarah industri bioskop dari tahun ke tahun. Data ini merupakan data yang didapatkan dari Kantor Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GBPSI):

Tahun

Jumlah Bioskop

Jumlah Layar

Tempat Duduk

Penonton

1970

292

*

207.620

129.200.000

1971

385

*

287.437

133.600.000

1972

431

*

314.739

140.400.000

1973

610

*

414.620

94.000.000

1974

680

*

476.872

101.300.000

1975

850

*

575.674

104.900.000

1976

960

*

640.099

112.400.000

1977

966

*

642.907

107.800.000

1978

1.039

*

669.547

111.300.000

1979

1.229

*

706.594

113.200.000

1980

1.211

*

785.184

123.600.000

1981

1.321

*

852.965

167.609.000

1982

1.360

*

867.906

136.900.000

1983

1.491

*

916.736

124.300.000

1984

1.673

*

944.506

128.700.000

1985

1.791

*

914.342

127.400.000

1986

1.848

*

958.672

133.800.000

1987

2.036

*

#

130.500.000

1988

2.197

*

#

129.600.000

1989

2.345

*

#

280.000.000

1990

2.600

2.853

#

312.000.000

1991

2.314

3.048

#

#

1992

2.314

3.048

#

#

1993

2.007

2.713

#

#

1994

1.340

2.148

#

#

1995

1.311

1.928

#

#

1996

1.339

2.115

#

#

1997

1.274

1.982

#

#

1998

1.280

1.988

#

#

1999

#

#

#

#

2000

#

#

#

#

2001

#

#

#

#

2002

264

676

#

#

2003

#

#

#

#

2004

272

720

#

#

Keterangan:

* : hingga tahun 1989 jumlah layar sama dengan jumlah bioskop karena sinepleks belum muncul.

# : data tidak tersedia

Pemetaan Masalah Bioskop di Indonesia

Dari lintasan sejarah di atas setidaknya dapat diklasifikasikan beberapa permasalahan pokok perbioskopan di Indonesia (Irawanto,2004:106-108),yaitu:

Pertama, bioskop seringkali dianggap sebelah mata oleh para pihak yang terkait sebagai salah satu factor vital dalam usaha memajukan perfilman nasional. Sehingga tidak mengherankan jika uluran tangan pemerintah dalam menolong bioskop-bioskop kelas “teri” masih sangat minim. Akibatnya, bioskop yang tersisa pun cenderung yang diperuntukkan untuk kelas menengah ke atas, hal yang menjadikan bioskop di Indonesia distereotipkan hanya untuk kaum kaya.

Kedua, bioskop merupakan usaha yang memerlukan permodalan kakap. Faktor modal tersebut yang membuat bioskop-bioskop kelas “teri” dengan modal terbatas sulit untuk bersaing, bahkan akhirnya tumbang.

Ketiga, adanya realita bahwa bioskop pun menghadapi persaingan serius dengan hadirnya stasiun-stasiun televisi swasta yang membawa content film secara gratis. Permasalahannya adalah sampai saat ini belum ada regulasi konkret mengenai kapan film dapat diputar di televisi pasca di layar bioskop, sehingga muncul kekhawatiran akan adanya potensi laten televisi menjadi gedung bioskop elektronik.

Keempat, selama ini pula belum ada regulasi yang transparan dalam masalah waktu dan wilayah tayang. Ditambah lagi belum adanya dikotomi antara distributor film impor dan nasional menambah carut marut dunia bioskop yang selama ini identik dengan monopoli.

Kelima, mulai dari dekade 1980an bioskop mendapat pesaing keras: video bajakan. Jika dulu yang dibajak adalah video tape, maka saat ini aksi pembajakan menjadi lebih mudah dengan dukungan teknologi terbaru seperti VCD dan DVD. Hal ini juga diperparah dengan regulasi anti-pembajakan yang masih mengambang aplikasinya.

Keenam, ketidaktransparan dalam informasi terhadap penjualan tiket dan animo penonton menjadi permasalahan tersendiri. Di satu sisi terlihat adanya ketakutan dari pihak distributor dan pemilik bioskop dalam menghadapi beban pajak. Namun, di sisi lain ini menjadikan data kuantitatif perkembangan industri bioskop tidak terdeteksi sehingga akan menyulitkan pihak-pihak terkait dalam pengambilan kebijakan yang bersifat evaluatif dan solutif.

Ketujuh, bioskop di Indonesia belum dapat digunakan secara efektif sebagai media promosi film nasional. Hal ini tidak dapat semata-mata ditimpakan kepada bioskop sebagai kesalahannya. Namun, juga dikarenakan impak dari kuantitas produksi film local yang masih belum dapat mengimbangi film impor. Maka dari itu, muncul wacana untuk mengadakan regulasi yang mewajibkan tiap bioskop untuk menayangkan film produksi dalam negeri (dimaksudkan pula untuk mendorong produksi film dalam negeri).

Opini Tentang Masa Depan Bioskop

Sutradara dan aktor terkenal Deddy Mizwar pada suatu kesempatan memberikan pendapatnya tentang perfilman nasional. Bahwa jika yang dijadikan parameter keberhasilan perfilman nasional adalah penghargaan internasional, maka kita punya tempat cukup terhormat. Sebab, beberapa sineas sudah mendapatkannya. Tapi dilihat dari sisi lain, masih banyak yang perlu dibenahi di tubuh perfilman Indonesia. Salah satunya adalah tumbuhnya bioskop yang sehat. Bioskop yang sehat merupakan faktor vital pula dalam keberhasilan distribusi perfilman, yang sayangnya belum digarap dengan baik. Menurutnya, pemerintah belum memberikan perhatian maksimal. Akibatnya, tidak mengherankan jika media bioskop esek-esek justru berkembang pesat. Padahal di bioskop ini film belum dianggap hal yang penting (sekedar hiburan dan fantasi seks semata). (Suara Merdeka, 6 Agustus 2007)

Lain halnya, Budi Irawanto (2004) mengungkapkan solusi-solusi taktis dalam hal pengembangan distribusi perfilman di Indonesia. Solusi tersebut masih cukup general, namun untuk industri bioskop dapat diambil beberapa poin penting, yaitu:

- Perlunya regulasi yang sehat dalam distribusi film impor maupun nasional. Hal ini dimaksudkan agar film nasional sebagai produk lokal tetap dapat berkembang di negerinya sendiri di tengah gempuran produk impor.

- Regulasi juga berkaitan dengan bagaimana persaingan yang sehat antara film bioskop dengan film yang disajikan di televisi (baik TVRI maupun swasta).

- Pemerintah perlu memikirkan untuk memberikan subsidi bahkan juga pemotongan beban pajak khususnya kepada pengusaha bioskop kelas bawah untuk mempertahankan usaha mereka, terutama demi menjangkau daerah-daerah pelosok dan penonton kelas bawah.

- Perlunya penanganan serius terhadap perilaku pembajakan yang telah mengakar dalam masyarakat. Regulasi mungkin telah ada, namun yang belum berjalan dengan baik adalah aplikasi konkretnya.

- Perlunya kesepakatan yang jelas dan konstruktif antara pengusaha bioskop dan produser untuk terus memajukan perfilman nasional sebagai salah satu corong identitas nasionalisme.

- Terakhir, perlunya juga regulasi yang jelas mengenai aturan waktu tayang sebuah film di layar lebar agar dapat diputar kembali di bioskop lainnya.

Simpulan

Dalam perjalanan lebih dari 100 tahun di Indonesia. Bioskop memegang peranan yang cukup vital dalam memajukan dunia perfilman nasional, baik dari segi literasi perfilman impor maupun dorongan terhadap kemajuan perfilman nasional. Benang merahnya adalah bioskop memiliki potensi besar untuk dijadikan dinamo perkembangan perfilman nasional (terutama secara ekonomi mengingat pasar Indonesia yang sangat besar).

Namun, di sisi lain lain masih banyak juga permasalahan yang membelit industri bioskop nasional. Mulai dari masalah regulasi film impor dan nasional, pembajakan, transparansi informasi kuantitas penonton hingga isu-isu monopoli usaha yang kencang berhembus. Permasalahan tersebut perlu dicarikan solusi dan jalan keluar konkret tidak hanya oleh pihak pengusaha bioskop itu sendiri, melainkan juga pihak-pihak terkait lainnya semisal pemerintah dan aparat yang berwajib (polisi dan kejaksaan). Agar cita-cita kita bersama tercapai: bioskop yang sehat dan konstruktif.

Terakhir, HM Johan Tjasmadi (dalam Jauhari, 1992: 191) menyatakan bahwa tumbuh kembangnya perfilman di Indonesia dan bahkan di Asean akan sangat bergantung pada bagaimana perkembangan perbioskopan. Maka, jika kita ingin terus menggulirkan wacana berkembangnya perfilman nasional bioskop pun harus dicoba dibenahi sebagai satu bagian yang tidak terpisahkan.

Jayalah Perfilman Indonesia… !!

Referensi

Buku

Irawanto, Budi (Editor).2004. Menguak Peta Perfilman Indonesia. Jakarta: Kementerian Budaya dan Pariwisata.

Jauhari, Haris (Editor).1992. Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia. Jakarta: PT Penebar Swadaya.

Kristanto, JB. 2004. Nonton Film Nonton Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Internet

http://id.wikipedia.org/wiki/Bioskop

http://layar.suaramerdeka.com/index.php?id=156

Artikel

Microsoft Encarta Student 2007 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2006.

3 comments:

Anonymous said...

zulfi...keren.tulisan kamu baguzzz loh...iya emang kita perlu bangkitkan kembali bioskop pinggiran, kasian khan?????, kennapa kita harus tunduk pada kapital, sementara kita harus mengorbankan aset negeri ini,yauda aku doain biar blog kamu bener2 bisa jadi terkenal

Anonymous said...

zulfi...keren.tulisan kamu baguzzz loh, ...iya emang kita perlu bangkitkan kembali bioskop pinggiran, kasian khan?????, seperti kuliah kita M3 kemaren, bioskop kita memprihatinkan, mbak novi penjelasane top banget yah...kennapa kita harus tunduk pada kapital, sementara kita harus mengorbankan aset negeri ini,yauda aku doain biar blog kamu bener2 bisa jadi terkenal...(meychandra06)

Ericka Playland said...

tulisan ini penting sebagai sejarah bioskop Indonesia....siapa yang punya keinginan untuk membangkitkan ini, yuk sama sama gabung. boleh add fb gw di Ericka Handoyo (empati2002@yahoo.com) atau boleh follow my twitter @Ericka_Handoyo