Mbah Marjan adalah orang yang sangat sederhana, pekerjaannya pun hanya tani. Tapi, beliau adalah orang yang sangat hebat dalam beragama. Ini dibuktikan dengan dedikasinya selama berpuluh-puluh tahun merawat masjid desaku. Beliau selalu bangun pagi untuk adzan shubuh dan hal ini selalu diingat oleh seluruh warga desa bahwa jatah adzan shubuh adalah mutlak milik mbah jan, bukan lainnya. Kesetiaan itu pula yang menjadikannya diberkahi oleh Allah. Kesehariannya terlihat seperti orang kurang mampu, namun jangan salah bagaimana berhasilnya putra-putrinya. Di tengah keterbatasan tersebut putra pertamanya telah berhasil dengan menjadi pejabat di kedubes Yaman, Afrika Utara. Sedangkan, putra kedua pun menyusulnya dengan melanjutkan studi perkuliahan di Al Azhar, Cairo. Hal-hal inilah yang kadang menjadikan beliau inspirasi bagi keluarga kami, tidak jarang bapak sering mengagumi mbah marjan ini, tanpa tidak langsung pun aku juga sangat mengagumi beliau.
Tapi, peristiwa hari ini kembali menjadi bahan pemikiranku. Kenapa mbah marjan memilih menggunakan kaos partai sekuler? Apalagi partai tersebut kurang popular di desaku…. Ternyata aku mulai memahami bahwa penggunaan kaos tersebut bukan tanpa alasan. Kemungkinan hanya ada kaos itu yang dapat digunakan karena kaos yang lainnya sedang tidak dapat digunakan. Jadi, bukan semata-mata karena partisan… poin inilah yang aku jadikan judul dari postinganku kali ini Hanya Pakaian, Bukan Hati.
Seringpula seorang sahabatku yang sudah dapat dikatakan ustadz (karena memang dia rajin mengisi kajian dimana-mana) menggunakan kaos yang berlogo partai, macam-macam lagi partainya, atau bahkan iklan sebuah rokok (tapi, dia tidak merokok). Awalnya agak risih juga melihat hal tersebut. Namun, setelah dipikir-pikir lebih panjang tentu ada alasan lain dia tetap menggunakannya: karena memang dia tidak punya banyak pilihan kaos.
Dalam kehidupan sehari-hari, kadangkala kita melihat seorang dari tampilannya. Kalo tampilannya rapi bersih bahkan bergamis/koko kita akan dengan mudah menjudge-nya dengan label syar’i ataupun ustadz. Sebaliknya, bila tampilannya kumuh, kotor dan urakan kita akan dengan mudah pula melabelinya: orang yang gokil bahkan preman…. Apakah memang benar seperti itu? Pertanyaan terakhir keselarasan antara kemasan dan isi merupakan hal yang mutlak. Namun, jika harus memilih salah satu akan kita pilih yang mana?
No comments:
Post a Comment